KOMPROMI: Soesilo Toer dan Romansanya
- indahsalimin
- Mar 22, 2018
- 2 min read

Membaca Kompromi, mau tak mau Saya jadi teringat obrolan dengan Soesilo Toer sewaktu Saya menyambangi Beliau di perpustakaan PATABA di Blora. Rasanya seperti membaca kembali apa yang Saya dengar dari Pak Soes dalam novel ini. Cerita soal Rusia, gadis-gadis, dan pandangan-pandangan politiknya, kembali bisa Saya temukan dalam lembar demi lembar novel ini.
Sama seperti mendengarkan Pak Soes berkisah, buku ini juga mengalir senatural itu. Kisahnya melompat-lompat dari Kamenka ke Wonosari ke Bogor. Beralih dari Darwati, Ekatarina dan Sri Dewi sesuka hati penulisnya. Membaca buku ini, sungguh kita bisa masuk ke dalam narasi dan seolah mendengar Pak Soes berkisah soal pengalaman hidupnya. Dengan fakta bahwa tokoh utama novel ini bernama ‘Sus’, rasanya tidak terlalu keliru bila kita berasumsi bahwa buku ini adalah semacam autobiografi Susilo Toer sendiri, tapi dari sisi romannya saja
.
Berangka tahun 1969, usia Soesilo Toer kira-kira berusia 32 tahun saat menulis cerita ini. Pada masa itu, ia jelas sedang sangat bersemangat dengan kehidupan, dengan menulis dan mungkin dengan petualangan cintanya dan menuangkannya dengan racikan kata-kata. Buktinya, kisah Kompromi yang pada awalnya berjudul Di Antara Dua Kaki Gunung Batu ini selesai dalam tempo belasan hari saja. Gairah, gejolak dan problematika yang muda, membuat buku ini enak dibaca oleh mereka yang sedang dalam masa-masa pencarian. Pencarian jati diri, makna hidup dan mungkin cinta sejati.
Buat mereka yang suka beromansa, buku ini jelas menarik karena di dalamnya banyak petuah-petuah soal cinta. Seperti, sebuah penggambaran yang sangat peka mengenai tabiat wanita, “Hidup wanita punya seni tersendiri bagaimana memikat laki-laki. Karena itu, jangan dengar omongannya, tapi carilah artinya.”. Nasihat yang buat Saya tepat dipegang erat oleh laki-laki dalam memahami cara wanita berkomunikasi. Nasihat-nasihat soal kasih-kasihan ini muncul dalam narasi soal ‘tiga gunung ayu’ alias tiga tokoh perempuan utama dalam cerita, yaitu Darwati, Sri Dewi dan Ekatarina.
Pengisahan romansa dalam novel ini, meski dibumbui dengan seksualitas, tapi tidak secara gamblang. Buku ini buat Saya pribadi masih jauh dari vulgar. Setidaknya bila dibandingkan dengan karya-karya penulis lain yang kental menawarkan seksualitas seperti Ayu Utami atau Eka Kurniawan. Karenanya label 18+ pada cover buku, Saya rasa tidak diperlukan. Bukan apa-apa, rasanya justru akan membuat kita ‘pekewuh’ membaca buku ini di tempat umum karena label 18+ itu bisa membuat orang berprasangka kita sedang membaca semacam karya Enny Arrow.
Bukan cuma soal cinta, buku ini juga sedikit banyak memberi gambaran soal kehidupan yang kadang melompat dari satu hal ke hal tak terduga lain secara tiba-tiba dan kadang tidak terduga. Salah satunya dalam kutipan, “Hidup ini memang sesuatu yang tidak bisa direncanakan, ia tumbuh dan mati di luar kemauan manusia itu sendiri.”, bagi Saya sangat bisa disepakati. Bahwa kadang-kadang manusia hanya bisa merencanakan rute perjalanan, tapi justru bisa sampai ke tempat-tempat melampaui wawasannya sendiri, melewati jalan yang melenceng dari kira sama sekali.
Akhirnya, bisa Saya simpulkan, buku ini adalah jenis buku yang menawarkan hiburan, dan mungkin petuah-petuah yang bisa membuat kita manggut-manggut setuju. Selebihnya, jangan mengharap informasi historis ataupun geografis yang komprehensif soal kondisi Moskow di tahun 1969, misalnya. Bawalah buku ini untuk menemani perjalanan jauh anda. Di kereta, di pesawat, di dalam bus. Bersama buku ini, jarak dan waktu akan lebih cepat tertebus.
コメント