top of page

Pemberontakan di Pelabuhan: Ringan tapi Berat, Kecil yang Membawa Gagasan Besar

  • Writer: indahsalimin
    indahsalimin
  • Apr 10, 2018
  • 3 min read

Pemberontakan di Pelabuhan adalah perkenalan Saya dengan Koesalah Toer. Saya pikir, Saya ingin membaca karyanya yang otentik dulu sebelum membaca terjemahannya. Namun, dalam bahasan pada pengantar, yang disampaikan dengan, bagi Saya, lugu, Koesalah Toer nampaknya sangat menjanjikan dalam ranah alih bahasa. Ia bahkan mendapat anugerah Puskhin Award dari Vladimir Putin, dua bulan setelah ia wafat, tepatnya pada 1 Juni 2016, atas jasanya menerjemahkan karya-karya sastra berbahasa Rusia selama puluhan tahun.


Walaupun demikian, mengetahui bahwa buku ini diterjemahkan dari bahasa Inggris, karena pada waktu menerjemahkan buku ini Koesalah Toer belum mahir berbahasa Rusia, toh tidak mengurangi semangat Saya membaca buku dengan cover agak kelam ini. Saya tidak kehilangan antusiasme untuk menemukan betapa lihainya Koesalah Toer mengalihbahasakan cerita-cerita pendek milik Sahia.


Buku ini kecil dan ringan. Dengan cover 'kelam' bergambar sekumpulan orang memanggul peti mati, yang buat Saya menarik. Ilustrasinya kuat dan 'bicara'. Jenis gambar cover yang membuat buku ini dilirik karena keunikannya.



ree
Halaman depan Pemberontakan di Pelabuhan.

Ada empat cerita pendek dalam buku ini yang semuanya menarik; Hujan Juni, Pemberontakan di Pelabuhan, Pabrik yang Bernyawa dan Matinya Seorang Rekrut. Semuanya menceritakan nasib kaum marjinal, seperti petani dan buruh pabrik serta pelabuhan. Semuanya mengusung kritik terhadap kaum elit


Cerita pertama, yakni Hujan Juni, yang tentu saja langsung membuat Saya teringat pada salah satu judul puisi paling terkenal milik Sapardi, berhasil menarik hati Saya dengan gaya bahasa yang arkais. Mengapa arkais? Coba kita tengok sama-sama paragraf pertamanya:


“Bulan Juni matahari sedang membakar, dan di sana-sini rumput sudah mulai melayu. Tanah tampak kering dan gandum tumbuh kurus, dengan bulir-bulirnya yang bermatian.”


Amboi!


Betapa romantis diksi-diksi Koesalah Toer ini. Penuh personifikasi yang terasa klasik, tapi Saya sendiri sangat menyukainya. Saya memang penggemar majas.


Cerita lain, yakni 'Pemberontakan di Pelabuhan', yang lantas digunakan sebagai judul buku kumpulan cerpen ini, mengambil latar pemberontakan para buruh kapal atas kematian seorang rekan mereka, Galaciuc, yang mati tenggelam karena jembatan yang ambrol. Pihak penguasa menolak membuat jembatan yang lebih kuat, dengan alasan penghematan biaya, tentu saja, meski Galaciuc adalah buruh keenam yang mati tenggelam. Para buruh lantas menolak bekerja, demi mengiringi rekan mereka ke pemakaman. Tidak sampai hati mereka, membiarkan mayat Galaciuc membusuk begitu saja.


Dalam cerita-ceritanya, Sahia tidak hanya bisa membeberkan gersangnya hidup para buruh, tapi juga keluarganya. Seperti pada kutipan di halaman 32 ini,

“Di sisinya Avram dan Marcu, anak-anak Galciuc, keduanya berambut jagung dan kurus. Mereka memandang perut ayahnya yang bengkak, tidak mengerti dari mana ayahnya dapat makanan begitu banyak.”


Atau pada kutipan di halaman 17 di cerita Hujan Juni, saat Patre Magaun menghujat nasibnya yang celaka: miskin dan punya 9 anak! Kita tidak bisa tidak bersimpati pada tokoh-tokoh dalam cerita Sahia ini. Dibuatnya kita kasihan, lalu diajaknya kita marah kepada pemerintah dan kaum elit.


Tak heran, Sahia diberedel oleh pemerintah Rumania pada zamannya dulu. Karya-karyanya tentu dianggap berbahaya dibaca oleh para buruh karena bisa membakar semangat mereka untuk memberontak, melawan ketidakadilan dan penindasan ekonomi. Sahia, melalui ceritanya, telah mengajak para buruh menyadari bahwa mereka sedang menjalani ketidakadilan. Tengoklah kutipan di judul Sebuah Pabrik yang Bernyawa ini:

“Betapa banyaknya orang yang tidak pernah melihat cerobong pabrik, tidak pernah mencium bau busuk arang batu, tetapi mencuri makanan kaum buruh? Punggung kaum proletariat dipatahkan untuk menggendutkan sejumlah kecil orang.”

Sebuah narasi yang cukup provokatif, terutama jika dibaca para buruh pada masanya.


Tapi, terlepas dari pesan politik dan pergerakan yang diusahakan Sahia, jika dipandang dari segi hiburan saja sebagai sebuah kumpulan cerpen, Saya bilang buku ini berhasil. Alexandru Sahia sebagai penulis cerita berhasil menceritakan hal-hal dengan ringan tapi mengena. Koesalah Toer sebagai penerjemah pun berhasil mengalihbahasakan cerita Sahia menjadi dapat dipahami oleh Saya, orang yang jarang baca karya terjemahan ini.


Dari beberapa karya terjemahan yang Saya baca, ada yang enak dan yang tidak alih bahasanya. Buku ini Saya bilang tergolong yang enak. Bagi Saya enak tidaknya sebuah terjemahan adalah jika Saya bisa merasakan penulis aslinya menuturkan ceritanya dengan bahasa yang digunakan dalam edisi yang Saya baca. Dan rasanya, Alexandru Sahia seolah membagi pandangan-pandangannya yang kritis tentang nasib buruh, melalui bahasa Indonesia.


Kesimpulannya, buku ini sangat enak dibaca. Apalagi ukurannya yang sangat mungil, menjadikannya ideal menjadi penghuni sementara tas Saya. Saja ajak dia ke mana-mana karena memang enak dibawa -bawa.

Comments


Join my mailing list

© 2018 by Indah Salimin

bottom of page